Terjebak 12 Jam di Jalan KKA Bener Meriah
REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah bangku panjang yang dijaga seorang prajurit TNI menjadi palang darurat di Jalan Kertas Kraft Aceh (KKA), Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Palang itu menghentikan mobil kami yang juga membawa bantuan berupa sembako dan pasokan obat-obatan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) dari Aceh Tamiang untuk warga Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Jumat (26/12/2025).
Seorang relawan yang sedang berada di Takengon, dr Muchsin, mengungkapkan, warga butuh bantuan tersebut mengingat harga beras, gas elpiji dan bahan bakar minyak (BBM) yang naik. Untuk memasok logistik tersebut sampai ke Takengon, ada dua rute yang bisa dilalui yakni lewat Bireun atau Lhoksemawe.
Jalan menuju Bireun dari Aceh Tamiang memiliki waktu tempuh hingga tujuh jam. Belum lagi, kami harus ke arah Aceh Tengah untuk menembus Jembatan Teupi Mane, penghubung daerah Bireun ke Takengon yang sempat terputus. Waktu tempuhnya mencapai sekitar empat jam belum ditambah antrean buka tutup akibat perbaikan jembatan. Googlemaps pun menunjukkan arah memutar melalui jalur barat yakni Tangse dan Meulaboh dengan jarak tempuh mencapai lebih dari 10 jam. Wajah dr Muchsin yang sudah menanti bantuan membayang. Kami harus sampai secepatnya.
Simpang KKA menjadi jalur paling cepat untuk sampai ke Aceh Tengah dari arah Aceh Tamiang. Hanya saja, lalu lintas tersendat setibanya mobil kami di Kuala Simpang. Informasi yang kami terima, ada konvoi motor pemuda berbendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konvoi tersebut tersebar di sejumlah titik seperti di Aceh Utara, Lhokseumawe, hingga Langsa, kota terdekat dari Kuala Simpang. Sempat terjadi keributan kecil di Lhokseumawe dimana salah satu peserta konvoi yang membawa senjata laras panjang dihentikan tentara. Mereka diminta untuk menurunkan bendera dan menyerahkan senjata.
Beruntung, kemacetan akibat bendera GAM tersebut hanya berlangsung satu jam. Kami bisa melanjutkan perjalanan meski kondisi menjadi tegang mengingat Jalan KKA yang kami tuju menjadi semacam prasasti pengingat luka lama pada waktu Aceh masih berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Seorang perwira TNI berpangkat letnan kolonel yang kami temui mengatakan, nama kamp menjadi penanda keberhasilan tentara dalam memenangkan pertempuran melawan GAM pada masa DOM.
Di jembatan Jalan KKA, Supriadi bersama cucunya sedang menyaksikan dua unit eskavator yang sedang berbagi tugas memperbaiki jembatan dan satu jalan yang berada di seberangnya. Belalai alat berat itu mencungkil batu-batu besar dari sungai. Bebatuan itu lantas dioper ke sebuah truk pengangkut untuk dibawa ke jalan yang masih lunak. Jalan berlumpur itu kemudian digilas oleh eskavator sama yang dioperasikan aparat TNI dari satuan Zeni Iskandar Muda.
Supriadi terkekeh saat menyaksikan sebuah mobil pickup hitam berupaya untuk menembus jalan yang masih tampak berlumpur tersebut. Deru mesin terdengar melengking seiring upaya sopir yang terus menginjak gas pada posisi gigi satu. Malang tak dapat ditolak. Lumpur di jalan yang baru ditanami batu itu masih lengket. Meski sang sopir terus memaksa agar ban kendaraannya bisa lepas dari kubangan, upayanya sia-sia. Kepulan asap hitam tebal dari kap mobil menjadi penanda menyerahnya sang sopir. Sepuluh pria dewasa datang untuk mendorong dibantu tarikan mobil 4×4 dujung tanjakan.
“Saya sudah dua malam disini. Kalau sekarang enggak bisa lewat jadi tiga malam,”kata Supriadi. Sopir truk yang sering mengirim logistik dari Jakarta ke Aceh itu sudah satu pekan pergi dari Takengon. Dia mencari bantuan sembako dari kerabatnya yang berada di Langsa dan Lhoksemawe. Jauhnya perjalanan membuat motor tunggangannya mengalami pecah ban dan putus rantai. Dia pun harus membayar sopir truk untuk membawa motornya dari Lhokseumawe. Sejak dua hari lalu, mereka terjebak di jembatan tersebut. “Tidur di rumah warga. Kalau makan banyak yang jualan,”kata dia.
Kakek berusia tujuh puluhan itu mengungkapkan, pada masa awal bencana, sembako langka karena akses jalan untuk logistik terputus. Kelaparan sempat terjadi tanpa pandang status ekonomi. Orang kaya dan miskin tidak bisa mengakses beras dan bahan bakar. Kalaupun ada, harganya terbilang mahal. “Di Takengon itu, saya beli dari tentara harganya Rp 65 ribu,”kata dia.
Karena itu, Supriadi nekat untuk keluar dari Takengon demi mencari sembako. Sebenarnya, ujar dia, jembatan Jalan KKA sudah diperbaiki dan bisa dilalui sejak pekan lalu. Hanya saja, hujan yang tidak berhenti pada Selasa-Rabu lalu membuat banjir kembali merusak struktur jembatan dan jalan di sampingnya. Alhasil, petugas gabungan dari TNI dan Dinas Pekerjaan Umum harus kembali turun memperbaiki jembatan tersebut.”Jam enam sore nanti petugasnya berhenti. Mudah-mudahan saja selesai,”kata seorang tentara yang bertugas untuk mengawasi prosesi perbaikan jalan tersebut.
Loading…
Sumber: Republika
