Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Sebagai Fondasi Kualitas Pemilu
Oleh: Ahmad Nur Hidayat, Ketua KPU Provinsi Jawa Barat
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) merupakan bagian paling mendasar dalam penyelenggaraan pemilu. Meskipun, sering kali tidak berada di garis depan perhatian publik.
Daftar pemilih kerap dipandang hanya sebagai urusan administratif yang berjalan rutin. Padahal, dari sisi kualitas dapat menentukan seluruh tahapan pemilu.
Kajian tentang integritas pemilu menempatkan registrasi pemilih sebagai prasyarat utama bagi pemilu yang adil dan dapat dipercaya (Birch, 2011; Norris, 2014).
Ketika daftar pemilih tidak akurat, valid, mutakhir, dan komprehensif berbagai persoalan muncul bahkan sebelum dan pada saat hari pemungutan suara.
Registrasi pemilih dipahami sebagai fondasi administratif yang memengaruhi legitimasi pemilu. Norris (2014) menegaskan, kegagalan mengelola daftar pemilih hampir selalu beriringan dengan menurunnya kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu.
Birch (2011) juga mengatakan hal sama, daftar pemilih yang lemah dapat membuka ruang bagi pemilih ganda, pemilih tidak memenuhi syarat, serta hilangnya hak pilih warga negara yang sah.
Atas dasar itulah banyak negara mulai menggeser pendekatan pemutakhiran data dari pola rutinitas menuju kualitas yang berlangsung secara berkelanjutan.
Pendekatan tersebut, saat ini menjadi kebutuhan di wilayah dengan jumlah penduduk besar dan mobilitas tinggi, seperti Provinsi Jawa Barat.
Dengan wilayah administratif yang mencakup 627 kecamatan dan 5.957 desa/kelurahan, Jawa Barat menghadirkan kompleksitas tersendiri dalam pengelolaan data pemilih.
Setiap kecamatan dan desa memiliki dinamika kependudukan berbeda, mulai dari kawasan perkotaan padat, wilayah industri dengan pergerakan penduduk cepat, hingga daerah perdesaan dengan akses layanan administrasi yang terbatas. Keragaman ini membuat daftar pemilih terus berubah mengikuti realitas sosial di lapangan.
Hasil PDPB Tahun 2025 yang dilakukan KPU Provinsi Jawa Barat menunjukkan jumlah pemilih di Provinsi Jawa Barat mencapai 37.095.730 orang terdiri atas 18.625.985 pemilih laki-laki dan 18.469.745 pemilih perempuan.
Angka tersebut mencerminkan besarnya tanggung jawab kelembagaan dalam menjaga akurasi data pemilih. Dalam perspektif administrasi pemilu, basis pemilih dalam skala besar menuntut sistem pemeliharaan data yang konsisten dan terencana.
Tanpa mekanisme pemutakhiran sepanjang tahun, perubahan data mudah menumpuk dan baru terlihat menjelang tahapan menjelang pemilu. Gambaran situasi tersebut yang oleh Alvarez, Ansolabehere, dan Hall (2012) disebut sebagai late-stage administrative overload.
Pengalaman Jawa Barat memperlihatkan, perubahan data pemilih berlangsung secara terus-menerus.
Pemilih pemula yang baru memenuhi syarat, perpindahan domisili akibat urbanisasi dan aktivitas ekonomi, perubahan status perkawinan, serta data kematian menjadi faktor yang secara langsung memengaruhi komposisi daftar pemilih.
Apabila perubahan ini tidak dikelola dengan baik, beban koreksi akan terkonsentrasi pada masa tahapan yang akan datang dengan tingginya risiko kesalahan administrasi dan menurunkan kualitas pelayanan kepada pemilih.
Melalui Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB), KPU melakukan semua proses pemutahkiran dilakukan secara bertahap.
Pemeliharaan data dilakukan secara berkelanjutan dengan cara kerja Coklit Terbatas (Coktas) memungkinkan dapat memudahkan dalam verifikasi data lapangan.
Praktik ini sejalan dengan pendekatan continuous voter registration yang direkomendasikan International IDEA (2014), terutama untuk wilayah dengan dinamika kependudukan tinggi dan cakupan administratif yang luas.
Pengelolaan daftar pemilih juga tidak terlepas dari peran pengawasan. Keterlibatan Bawaslu melalui imbauan, temuan dan rekomendasi perbaikan, yang kemudian ditindaklanjuti KPU Kabupaten/Kota melalui proses verifikasi dan validasi dapat memperkuat akurasi data pemilih.
Mekanisme ini menjaga keseimbangan peran antarlembaga dalam pengelolaan daftar pemilih. Mozaffar dan Schedler (2002) menilai sistem pemilu yang sehat selalu ditopang pengawasan yang efektif, termasuk pada tahap registrasi pemilih yang sering kali luput dari perhatian publik.
Publik juga dapat melihat sejauhmana kesiapan penyelenggaraan pemilu berikutnya. Salah satu indikator yang sering digunakan adalah potensi berkurangnya Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Berbagai studi menunjukkan, tingginya DPK kerap berkaitan dengan lemahnya pemutakhiran data sebelum tahapan pemilu dimulai (Birch, 2011).
Pemeliharaan data secara berkelanjutan membuat daftar pemilih yang digunakan pada hari pemungutan suara lebih siap, sehingga pelayanan pemilih dapat berlangsung lebih optimal.
Daftar pemilih yang dikelola dengan baik turut berkontribusi pada kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Norris (2014) menekankan legitimasi pemilu tidak hanya ditentukan kompetisi politik, tetapi juga kualitas proses administratif yang menyertainya.
Transparansi pengelolaan data, respons terhadap masukan masyarakat, serta konsistensi pemutakhiran menjadi unsur penting dalam membangun kepercayaan tersebut.
Dalam menjaga kepercayaan publik, KPU tidak hanya menjalankan kewajiban administratif. Lebih jauh dati itu, PDPB merupakan fondasi kualitas pemilu.
Berangkat dari pengalaman Provinsi Jawa Barat menegaskan, kualitas pemilu ditopang pemutakhiran dan pemeliharaan data yang konsisten, kolaboratif bersama pemangku kepentingan, dan berintegritas pada hasil, dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan tahapan pemilu di masa mendatang.
Kerja inilah yang sesungguhnya untuk menopang pemilu yang lebih inklusif, akurat, dan berkeadilan.
Sumber: Republika
