Kenalan Sama Microshifting, Tren Kerja Fleksibel yang Dipercaya Bikin Karyawan Lebih Produktif
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masa depan dunia kerja kini mengarah pada sebuah tren baru yang disebut microshifting. Model kerja kaku dari pukul 09.00 hingga 17.00 dinilai semakin memudar di tengah era di mana karyawan mendesain ulang bagaimana dan kapan mereka bekerja.
Karyawan mungkin mulai bekerja lebih awal untuk menyelesaikan email, mengambil waktu istirahat di tengah hari untuk berolahraga atau menjemput anak sekolah, kemudian menyelesaikan proyek setelah makan malam. Tren yang sedang berkembang ini, yang dikenal sebagai microshifting, memberi sinyal fase berikutnya dalam evolusi dunia kerja.
Dilansir laman Forbes pada awal Oktober, menurut Laporan State of Hybrid Work 2025 dari Owl Labs, 65 persen pekerja kantor menginginkan lebih banyak fleksibilitas jadwal. Survei lain dari Deputy, The Big Shift: U.S. 2025, menunjukkan bahwa microshifting juga mulai merambah industri layanan, di mana karyawan Gen Z memilih jam kerja yang lebih pendek untuk menyeimbangkan tanggung jawab mengasuh, pendidikan, dan memiliki lebih dari satu pekerjaan.
Model 9-to-5 yang konvensional dinilai tidak relevan lagi melayani tenaga kerja modern. Para pemimpin perusahaan harus memprioritaskan kepercayaan di atas pelacakan (tracking) atau berisiko kehilangan talenta terbaik mereka.
Mengapa model kerja 9 to 5 tidak lagi relevan?
Model kerja 9-to-5 merupakan peninggalan Revolusi Industri, dirancang untuk pabrik yang produktivitasnya diukur berdasarkan jam kerja yang dicatat dan jumlah barang yang diproduksi. Namun, pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge work) tidak beroperasi pada lini perakitan.
Meskipun demikian, banyak perusahaan yang malah memperketat mandat kembali ke kantor (return-to-office atau RTO). Owl Labs melaporkan 63 persen karyawan kini bekerja penuh waktu di kantor. Di kalangan pekerja hybrid, hari-hari di kantor bahkan meningkat; sebuah fenomena yang disebut hybrid creep menunjukkan 34 persen pekerja hybrid kini masuk kantor empat hari sepekan, naik dari 23 persen pada 2023. Saat perusahaan menarik karyawan kembali ke kantor, karyawan melawan dengan menolak membiarkan jam kerja mendikte produktivitas mereka.
Apa itu microshifting?
Microshifting adalah praktik memecah hari kerja menjadi blok-blok pendek yang fleksibel, alih-alih berpegangan pada delapan jam kerja yang berkelanjutan. Berbeda dengan jam kerja fleksibel konvensional, yang mungkin hanya mengizinkan Anda memulai pada pukul 10.00 alih-alih 09.00, microshifting memberikan karyawan otonomi untuk bekerja dalam sesi singkat sepanjang hari berdasarkan kapan mereka paling produktif atau kapan tuntutan hidup pribadi membutuhkan perhatian mereka.
Sebagai contoh, orang tua mungkin bekerja dari pukul 07.00 hingga 09.00, mengambil jeda untuk mengantar anak sekolah dan menyelesaikan urusan, kembali bekerja selama beberapa jam pada sore hari, lalu kembali “log in” setelah waktu tidur anak untuk menyelesaikan pekerjaan. Di industri seperti hospitality dan layanan makanan, ini sering berarti shift enam jam atau kurang. Untuk pekerja berbasis pengetahuan, ini tentang otonomi atas jadwal mereka, bukan hanya tempat mereka duduk.
Mengapa karyawan mendorong perubahan ini
Karyawan tidak hanya meminta microshifting; mereka bersedia membayar untuk itu. Owl Labs menemukan bahwa karyawan akan mengorbankan 9 persen dari gaji tahunan mereka demi jam kerja yang fleksibel dan 8 persen demi empat hari kerja dalam sepekan. Fleksibilitas telah menjadi sama berharganya dengan kompensasi, dan ini didorong oleh dua faktor utama:
1. Krisis pengasuhan
Dengan 62 persen karyawan yang disurvei mengurus anak-anak di rumah, model 9-to-5 yang kaku tidak lagi mengakomodasi kehidupan modern. Orang tua telah lama mempraktikkan apa yang dikenal sebagai second shift yaitu menjauh sejenak untuk menjemput anak sekolah, makan malam, dan rutinitas menjelang tidur, lalu kembali bekerja setelah anak-anak tidur. Namun kini, 68 persen orang tua khawatir tanggung jawab mengasuh anak dapat merusak kinerja pekerjaan mereka.
Kekhawatiran ini bahkan lebih tinggi di antara karyawan yang bekerja penuh waktu di kantor (71 persen) dibandingkan pekerja remote (48 persen). Microshifting menawarkan cara untuk mengelola keduanya tanpa rasa bersalah atau penurunan kinerja.
2. Meningkatnya poly-employment
Bukan hanya orang tua yang mendorong perubahan. Satu dari lima karyawan adalah poly-employed, yang berarti mereka melakukan pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama mereka. Dengan 59 persen karyawan menjadwalkan janji pribadi selama jam kerja tradisional, batas-batas hari kerja telah memudar. Shift yang lebih pendek dan fleksibel bukan hanya nyaman; itu menjadi penting.
Loading…
Sumber: Republika