Catatan Cak AT: Paul McCartney Belum Mati

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Sebelum kita mulai, mari kita jujur sebentar: sebagian pembaca sekarang mungkin lebih fasih menyebut nama idol K-Pop daripada mendeskripsikan siapa itu Paul McCartney.
Bahkan ada yang mengira Paul itu merek sepatu retro, atau tokoh fiksi dari gim Hogwarts Legacy.
Padahal, tanpa Paul, dunia mungkin tak pernah punya lagu Yesterday, Hey Jude, Blackbird, dan standar karaoke global yang mengizinkan suara fals berkibar-kibar dengan penuh kepercayaan diri. Ia adalah bassist, vokalis, penulis lagu, separuh denyut nadi abad ke-20.
Dan dia termasuk salah satu dari empat dewa musik modern yang dikenal sebagai The Beatles —band yang mengubah wajah budaya pop, politik rambut gondrong, dan definisi romantis bahwa cinta bisa dinyanyikan, bukan hanya disindir di status WhatsApp.
Baca juga: Ajang Anugerah Jurnalistik Pertamina 2025 Masuki Tahap Seleksi 2.685 Karya
Lalu mengapa tiba-tiba di 2025 kita menulis panjang lebar tentang Paul? Kenapa mendadak dunia seakan menemukan kembali sang legenda seperti menemukan kaset lawas yang masih mulus bungkusnya? Jawabannya sederhana: karena Paul sendiri yang buka pintu lemari masa lalu.
Koran _The Guardian_ —yang reputasinya tak diragukan dan tidak hobi clickbait “10 Alasan Kenapa Mantanmu Menyesal”— baru saja menerbitkan pengakuan panjang dari Paul, lengkap dengan arsip, wawancara segar, dan refleksi yang baru kali ini ia berani ungkap.
Di sanalah Paul mengaku: “Dunia bilang aku mati —dan dalam banyak hal, aku memang mati.” Ini bukan metafora lebay asal comot. Ini suara seorang manusia yang tenggelam dalam depresi, gosip, konflik hukum, dan perpecahan The Beatles yang bagi banyak orang lebih dramatis dari pecahnya Avengers di Civil War.
Jadi mari kita tarik mundur ke saat itu. Di usianya 27, Paul baru saja kehilangan kru band terkuat di dunia. Ia pun diburu rumor gila bahwa ia sudah meninggal. Ia pun dipaksa menghadapi kenyataan bahwa hidup yang selama ini ia kenal tiba-tiba runtuh seperti atap gedung tua kena angin puting beliung.
Sejarah musik selama ini diliputi rumor yang menudingnya tewas, dan posisinya di The Beatles digantikan orang yang mirip. Rumor yang dikenal luas sebagai “Paul is Dead” ini mulai beredar kencang sejak 1966.
Isu utamanya, McCartney meninggal dalam tabrakan mobil dan The Beatles, dibantu oleh Secret Service, sengaja menyembunyikan fakta tersebut dengan merekrut seorang ‘kembaran’ agar band tetap berjalan.
Kekuatan desas-desus ini mencapai puncaknya pada musim gugur 1969, dipicu oleh seorang disjoki di AS, hingga jutaan orang di seluruh dunia meyakini bahwa McCartney benar-benar telah tiada.
Para penganut teori ini aktif mencari “petunjuk” tersembunyi, terutama pada sampul album The Beatles. Salah satunya yang paling terkenal, sampul album “Abbey Road” tahun 1969, yang diklaim sebagai gambaran prosesi pemakaman.
Baca juga: Program SDM PLN Icon Plus Handal Raih Silver Medal Asia ESG Awards
Pada cover album, John Lennon yang berpakaian serba putih ditafsirkan sebagai pendeta, Ringo Starr yang mengenakan pakaian hitam diartikan sebagai pengurus pemakaman, kemudian George Harrison yang berbalut denim diklaim sebagai penggali kubur. Sementara McCartney yang tampil tanpa alas kaki dan melangkah tidak selaras dengan yang lain, dianggap mewakili jenazah atau mayat.
Dalam buku terbarunya, Wings: The Story of a Band on a Run, McCartney menuturkan bahwa rumor itu paling aneh dan sempat menjadi perbincangan utama di masanya. Ia dan mendiang istrinya, Linda, sadar akan kekuatan gosip dan absurditas dari cerita-cerita yang beredar.
Dalam situasi seperti itu, Paul melakukan hal yang tidak akan diprediksi netizen zaman sekarang. Ia tidak bikin podcast “Menghilang dari Publik: Ini Alasanku”, tidak buka IG Story penuh kata mutiara, tidak pula bikin album dadakan tentang penyembuhan batin.
Ia justru kabur. Kabur betulan nan jauh —ke ladang terpencil di Kintyre, Skotlandia. Tempat di mana angin berhembus seperti sedang menagih hutang negara, kabut turun seperti komentar netizen: spontan, dingin, dan sering tidak diminta.
Baca juga: Peserta BPJS Ketenagakerjaan Depok Capai 197 Ribu, Klaim Rp570 Miliar Cair Sepanjang 2025
Lokasi itu begitu terpencil. Bahkan mungkin membuat Google Maps mikir dua kali sebelum memberi rute ke sana. Jauh dari London, jauh dari kamera, dan jauh dari segala hal yang mengingatkannya pada The Beatles. Kepergian ini membuatnya lepas sama sekali dari band yang dibanggakannya.
Dan di sanalah, ironisnya, Paul yang katanya “mati” itu menemukan kehidupan lagi.
Bayangkan: seorang bintang dunia belajar mengaduk semen dari peternak bernama Duncan yang mungkin lebih paham ritme gunting domba daripada chord Let It Be. Paul memasang lantai semen, menebang pohon, menyisir domba (yang kadang lebih keras kepala dari drummer).
Di kampung yang jauh dari keramaian itu, ia membuat meja tanpa paku dengan skill kayu-kayuan yang ajaibnya masih ia ingat dari masa sekolah. Meja itu masih berdiri hari ini —dan saya yakin lebih kokoh dari argumentasi netizen di kolom komentar X/Twitter.
Mandi? Ah, mandi adalah catatan sejarah tersendiri. Ia mandi di bak galvanis bekas pembersih alat perah susu. Paul McCartney. Mantan Beatle. Mandi di bak yang kalau di Indonesia mungkin dipakai untuk merendam ikan asin.
Baca juga: Turki Nyatakan Perang dengan Israel, Terbitkan Surat Penangkapan Netanyahu
Tapi dari situlah ia menata ulang dirinya. Dari kesederhanaan itu ia mulai menulis musik lagi. Dari kesunyian itu lahir Maybe I’m Amazed —lagu yang bergetar antara takut dan bahagia, seperti hati orang yang baru pertama kali jatuh cinta tapi sudah kepikiran biaya resepsi.
Dan jangan lupakan Linda —sosok istri yang bukan hanya pendamping, tapi jangkar emosional, penarik Paul dari tepi jurang, GPS moral yang tidak pernah kehabisan baterai. Tanpa Linda, mungkin Paul tak pernah keluar dari gelap itu.
Mereka punya anak. Bersama anak-anak di bukit Skotlandia, bersama suara kambing, bersama kacang polong curian dari kebun sendiri, Paul menemukan bahwa hidup sederhana bukan downgrade, tapi reboot spiritual.
Nah, apakah selama ini ia sembunyi? Ya. Apakah media tidak tahu? Betul. Karena hidupnya waktu itu benar-benar out of radar —lebih terpencil dari sinyal WiFi di kampung kalau hujan.
Baca juga: RSUD ASA Depok Gelar Bakti Sosial Intervensi Nyeri Bersama FK Unpad
Tidak ada spotlight, tidak ada paparazzi, tidak ada internet yang tiba-tiba menyebarkan foto tanpa izin. Hanya kesunyian, keluarga, dan proses menemukan ulang diri.
Dan setengah abad kemudian, 50 tahun, ia memutuskan untuk cerita kepada kita. Ini bukan tiba-tiba, bukan sensasi, bukan promosi album. Ini lebih mirip seseorang yang sudah lama menyimpan batu besar di dada, lalu suatu pagi memutuskan, “Baiklah, sekarang aku siap.”
Maka lahirlah tulisan ini.
Sebuah pengingat bahwa legenda pun rapuh. Bahwa ikon pun bisa hilang arah. Bahwa bahkan seorang Paul McCartney pernah mempertanyakan keberadaannya sendiri. Dan bahwa dalam hidup, terkadang kematian hanyalah perubahan bentuk; sebuah fase di mana kita harus menghilang dulu agar bisa muncul lagi dengan lebih jernih.
Baca juga: Catatan Cak AT: ‘Kota Hantu’ IKN
Pada akhirnya, kisah Paul bukan sekadar nostalgia. Ia adalah cermin. Kita semua mungkin pernah menjadi Paul —tersesat, tercekik, menghindari dunia, lalu menemukan hidup kembali di tempat paling tak terduga. Entah itu di ladang Skotlandia, di kamar kos sempit, atau dalam hening sepuluh detik sebelum tidur.
Karena kadang, hidup memang harus mati sebentar sebelum bisa dimainkan ulang. (***)
Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 9/11/2025
Sumber: Republika
