Menggali Kembali Sejarah Wakaf Lingkungan yang Terlupakan
Para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Teungku Chik Pante Kulu menanam pohon di kawasan Hutan Wakaf Aceh, Jantho, Aceh Besar, belum lama ini.
Oleh ASEP NURHALIM; Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB University
REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah krisis iklim global yang semakin serius, manusia modern seperti kehilangan arah dalam menjaga keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kelestarian alam. Berbagai konferensi dunia telah diselenggarakan, beragam komitmen diikrarkan, namun degradasi lingkungan tetap melaju.
Dalam situasi seperti ini, umat Islam seharusnya tidak sekadar menjadi penonton. Kita memiliki warisan peradaban yang kaya berupa sistem sosial-ekonomi berbasis nilai ketuhanan yang terbukti efektif menjaga ekologi, yaitu wakaf lingkungan.
Gagasan tentang wakaf lingkungan sesungguhnya bukan hal baru. Sejak masa Rasulullah ﷺ, wakaf telah menjadi instrumen sosial yang tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga ekologis. Salah satu contoh paling awal adalah wakaf Sumur Raumah oleh Utsman bin Affan. Ketika warga Madinah mengalami krisis air, beliau membeli sumur tersebut dan mewakafkannya agar bisa diakses oleh siapa pun tanpa biaya.
Tindakan ini bukan hanya filantropi, melainkan upaya konservasi sumber air tanah yang berkelanjutan. Hingga kini, sumur itu masih berfungsi di Madinah, menjadi simbol abadi tentang hubungan spiritual antara sedekah, sumber daya alam, dan keberlanjutan hidup.
Selain itu, Rasulullah ﷺ memperkenalkan konsep Hima, kawasan lindung yang ditetapkan untuk menjaga keseimbangan alam. Salah satu contohnya adalah Hima Naqi’ di sekitar Madinah. Kawasan ini tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan, baik untuk penggembalaan maupun penebangan. Sabda Nabi bahwa “Hima hanya milik Allah dan Rasul-Nya” menegaskan bahwa pelestarian lingkungan merupakan amanah ilahiah. Prinsip Hima inilah yang menjadi cikal bakal konservasi berbasis spiritualitas dan tanggung jawab sosial.
Memasuki era Kesultanan Utsmaniyah, konsep wakaf lingkungan berkembang menjadi kebijakan publik. Negara dan masyarakat bekerja bersama dalam menjaga ekosistem melalui sistem Vakıf Ormanları, yaitu hutan atau lahan yang diwakafkan untuk kepentingan sosial dan ekologis. Hutan Belgrad di Istanbul, misalnya, dijadikan kawasan lindung untuk menjaga cadangan air kota. Siapa pun yang menebang pohon tanpa izin dikenai hukuman berat. Hutan dianggap milik publik yang dijaga melalui mekanisme wakaf, bukan sekadar aset ekonomi.
Loading…
Sumber: Republika
