Syaikhona Kholil Bangkalan Jadi Pahlawan Nasional? ini Profilnya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di ujung barat Pulau Madura, tepatnya di Bangkalan, bersemayam jasad seorang alim besar yang kharismanya tak lekang dimakan zaman: Syaikhona Muhammad Kholil.
Dia bukan sekadar kiai biasa, melainkan sosok Syaikhona, gelar agung yang berarti “Guru Kami” atau “Maha Guru”, yang diberikan secara tulus oleh para santri dan ulama sezamannya. Gelar ini mencerminkan kedalaman ilmu dan pengakuan luas atas peran sentral beliau dalam mencetak generasi ulama pejuang di Nusantara.
Kisah hidup Syaikhona Kholil, yang lahir sekitar tahun 1820 M, adalah narasi tentang ketekunan mencari ilmu. Dari pesantren ke pesantren di Jawa, hingga pengembaraan spiritual dan keilmuan di Makkah selama bertahun-tahun, dia menyerap berbagai disiplin ilmu agama, mulai dari fikih, tafsir, hadis, hingga tasawuf. Kedalaman keilmuan inilah yang membuatnya disegani dan menjadi rujukan utama bagi para pencari ilmu di zamannya.
Salah satu jasa terbesar Syaikhona Kholil adalah perannya sebagai arsitek intelektual di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Kholil adalah guru spiritual dan inspirator bagi para pendiri NU, terutama KH Hasyim Asy’ari (pendiri Tebuireng Jombang) dan KH Wahab Chasbullah (pendiri Tambakberas Jombang). Tanpa bimbingan dan restunya, mustahil organisasi Islam terbesar di Indonesia itu dapat berdiri kokoh.
Selain itu, banyak kiai dan ulama di Jawa Timur berguru kepadanya. Sebut saja KH Hasan yang mengembangkan Pesantren Zainul Hasan di Genggong Probolinggo Jawa Timur, kemudian banyak lagi yang lain.
Momen paling monumental yang menunjukkan peran ini adalah kisah legendaris pengiriman pesan kepada seorang santri khusus untuk disampaikan kepada KH Hasyim Asy’ari. Pada suatu kesempatan, Syaikhona Kholil memanggil santrinya tersebut dan memberinya ‘bekal’, disertai pesan rahasia yang hanya boleh disampaikan kepada Kiai Hasyim di Jombang. Santri tersebut menjalankan amanah gurunya dengan penuh kepatuhan.
Tak berhenti di situ, beberapa waktu kemudian, Syaikhona Kholil kembali mengutus santrinya tersebut. Kali ini, Kholil memberikan sebuah tongkat, disertai isyarat dan pesan khusus yang kembali hanya ditujukan untuk Kiai Hasyim Asy’ari. Pesan-pesan simbolik melalui tasbih dan tongkat ini adalah isyarat restu dan perintah ijtima’ (berkumpul) para ulama untuk mendirikan sebuah jam’iyyah (organisasi) yang kelak dikenal sebagai NU pada tahun 1926. Hal itu tertulis di dalam buku Syaikhona Kholil Bangkalan: Biografi Singkat 1820-1925 karya KH. Helmy Muhammad Zubair.
Lebih dari sekadar inspirator keagamaan, Syaikhona Kholil adalah sosok pejuang gigih melawan penjajahan Belanda. Meskipun perjuangan Kholil lebih sering bersifat “senyap” melalui pendidikan dan pembinaan mental spiritual, dampaknya sangat besar. Beliau menanamkan jiwa patriotisme dan anti-penjajah kepada para santrinya.
Lawan Penjajahan
Peran Syaikhona Kholil dalam melawan penjajahan terekam dalam berbagai kisah perlawanan santri-santrinya di berbagai daerah. Ajaran Kholil tentang jihad dan pentingnya menjaga martabat bangsa mengobarkan semangat perlawanan. Konon, banyak jimat atau doa khusus yang diberikan kepada para santri yang terjun langsung ke medan perang, menunjukkan keterlibatan spiritual beliau dalam perjuangan fisik.
Loading…
Sumber: Republika
